Cerpen School sucks, but i do love my life – KLBK

Kalimat yang pernah jadi moto seorang teman SMA saya itu terlinas kembali di benak saya sejak kemarin malam.
menjelang akhir kegiatan belajar mengajar dalam kelas, materi dan permainan pun tuntas. menunggu bel akhir pelajaran yang kurang lebih tak sampai lima menit. iseng saya bertanya pada seluruh penghuni kelas yang semuanya masih SMA itu: “Rek, menurut kalian, apa seh arti ‘sekolah’ itu? ngapain kok kita sejak kecil mesti ‘sekolah’?

sunyi sejenak
lalu muncullah jawaban-jawaban berikut ini:
“Ketemu teman-teman Mas!”
“Biar dapet uang saku dari ortuuuuuu!!”
“Nongkrong…”
“Ngisi waktu Mas, daripada nganggur di rumah…”
“Cari ijazah…”
“formalitas aja lah Mas…”
dan lain-lain, dan lain-lain….

masih banyak jawaban lain yang intinya kurang lebih sama seperti yang telah saya sebutkan di atas. saat itu, saya merasa melihat kembali diri saya yang dulu. diri saya yang mengenakan seragam SMA, yang berangkat ke sekolah dengan tujuan utama dapat uang saku dari ortu dan berkumpul bersama teman-teman.

miris dan lega. itulah yang saya rasakan setelahnya.

miris, teringat saya pernah membaca sebuah buku berjudul ‘Sekolah Dibubarkan Saja!’. penulis buku tersebut memaparkan sejumlah fenomena tentang pergeseran fungsi yang teradi pada sekolah. sekolah yang mestinya menjadi tempat menimba ilmu dan memanusiakan manusia, seiring perkembangan zaman, telah berubah menjadi semacam pabrik penghasil produk berupa robot-robot pekerja dengan lisensi berupa surat sakti bernama ijazah. si penulis lalu berkesimpulan jika sudah kehilangan fungsi hakikinya, jika sekolah malah menjauhkan manusia dari hakikat kemanusiaannya, sebaiknya sekolah itu dibubarkan saja!

namun, jawaban-jawaban yang terungkap dari siswa-siswa SMA itu membuat saya cukup merasa lega karena entah kenapa saya merasa jawaban-jawaban itu meluncur dari mereka disertai dengan rasa jujur. mereka semua adalah siswa yang di sekolah (mungkin) tak punya pilihan selain mesti patuh pada segala macam aturan. mereka semua adalah siswa yang (mungkin juga) lebih memilih diam lantaran terbentur ‘sistem yang tak bisa (barangkali takmau) disalahkan’.

setidaknya, mereka masih mau mengungkapkan jawaban-jawaban itu. jawaban-jawaban yang mungkin telah menjadi motivasi terselubung mereka sehingga masih mau berangkat ke sekolah. motivasi-motivasi yang menurut saya sangatlah manusiawi. dengan demikian, sekolah belumlah sepenuhnya melunturkan sisi-sisi kemanusiaan mereka.

dan, karena mereka masih mau berangkat ke sekolah itulah, sekolah masih bisa bertahan sampai saat ini.

kalimat yang pernah jadi moto seorang teman SMA saya itu terlinas kembali di benak saya sejak kemarin malam.
menjelang akhir kegiatan belajar mengajar dalam kelas, materi dan permainan pun tuntas. menunggu bel akhir pelajaran yang kurang lebih tak sampai lima menit. iseng saya bertanya pada seluruh penghuni kelas yang semuanya masih SMA itu: “Rek, menurut kalian, apa seh arti ‘sekolah’ itu? ngapain kok kita sejak kecil mesti ‘sekolah’?
sunyi sejenak

lalu muncullah jawaban-jawaban berikut ini:
“Ketemu teman-teman Mas!”
“Biar dapet uang saku dari ortuuuuuu!!”
“Nongkrong…”
“Ngisi waktu Mas, daripada nganggur di rumah…”
“Cari ijazah…”
“formalitas aja lah Mas…”
dan lain-lain, dan lain-lain….

masih banyak jawaban lain yang intinya kurang lebih sama seperti yang telah saya sebutkan di atas. saat itu, saya merasa melihat kembali diri saya yang dulu. diri saya yang mengenakan seragam SMA, yang berangkat ke sekolah dengan tujuan utama dapat uang saku dari ortu dan berkumpul bersama teman-teman.

miris dan lega. itulah yang saya rasakan setelahnya.

miris, teringat saya pernah membaca sebuah buku berjudul ‘Sekolah Dibubarkan Saja!’. penulis buku tersebut memaparkan sejumlah fenomena tentang pergeseran fungsi yang teradi pada sekolah. sekolah yang mestinya menjadi tempat menimba ilmu dan memanusiakan manusia, seiring perkembangan zaman, telah berubah menjadi semacam pabrik penghasil produk berupa robot-robot pekerja dengan lisensi berupa surat sakti bernama ijazah. si penulis lalu berkesimpulan jika sudah kehilangan fungsi hakikinya, jika sekolah malah menjauhkan manusia dari hakikat kemanusiaannya, sebaiknya sekolah itu dibubarkan saja!

namun, jawaban-jawaban yang terungkap dari siswa-siswa SMA itu membuat saya cukup merasa lega karena entah kenapa saya merasa jawaban-jawaban itu meluncur dari mereka disertai dengan rasa jujur. mereka semua adalah siswa yang di sekolah (mungkin) tak punya pilihan selain mesti patuh pada segala macam aturan. mereka semua adalah siswa yang (mungkin juga) lebih memilih diam lantaran terbentur ‘sistem yang tak bisa (barangkali takmau) disalahkan’.

setidaknya, mereka masih mau mengungkapkan jawaban-jawaban itu. jawaban-jawaban yang mungkin telah menjadi motivasi terselubung mereka sehingga masih mau berangkat ke sekolah. motivasi-motivasi yang menurut saya sangatlah manusiawi. dengan demikian, sekolah belumlah sepenuhnya melunturkan sisi-sisi kemanusiaan mereka.

dan, karena mereka masih mau berangkat ke sekolah itulah, sekolah masih bisa bertahan sampai saat ini.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *